Lebih dari Sebulan Pasca Peluncuran Bursa Kripto, Aspakrindo Was-was dengan Adanya Centralised Risk

Lebih dari Sebulan Pasca Peluncuran Bursa Kripto, Aspakrindo Was-was dengan Adanya Centralised Risk
  • By:
  • 15 Oct 2023

Iconomics – Pasca peluncuran Bursa Kripto pada akhir Juli lalu, proses uji coba integrasi sistem pencatatan dan pelaporan transaksi masih terus dilakukan. Berbarengan dengan itu, berbagai tahapan adminstrasi pendaftaran untuk menjadi Pedangan Fisik Aset Kripto (PFAK) terdaftar pun masih terus dilakukan.

Dalam proses integrasi sistem perdaganan ini, keamanan (security) aset nasabah menjadi perhatian para pedagang fisik aset kripto atau exchanger. Sebagaimana diketahui, pasca terbentuknya bursa, ekosistem perdagangan aset kripto tak lagi hanya pedagang fisik atau exchanger. Tetapi, juga melibatkan Bursa Berjangka Aset Kripto yaitu PT Bursa Komoditi Nusantara atau Commodity Future Exchange (CFX). Kemudian, lembaga kliring yaitu PT Kliring Berjangka Indonesia dan lembaga penyimpanan aset kripto (depository) atau kustodian yaitu PT Tennet Depository Indonesia.

Robby Bun, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengatakan pararel dengan proses administrasi untuk menjadi Pedagang Fisik Aset Kripto terdaftar, ujicoba pelaporan transaksi secara relal time ke bursa, kliring dan kustodian sudah mulai dilakukan pada 1 September lalu.

Robby mengatakan proses integrasi sistem memang butuh waktu. Karena dari 27 Calon Pedagang Fisik Aset Kripto yang ada saat ini, semuanya memiliki metode pencatatan masing-masing.

Sistem pencatatan yang ada di pedagang akan masuk ke bursa, untuk menjamin semua transaksi berjalan dengan benar dan real. Tidak ada transaksi siluman dan lain sebagainya. Kemudian mengenai pencatatan fiat juga kapan masuknya, kapan keluarnya, benar enggak penempatannya, dan lain sebagainya. Ini lagi koneksi API [Application Programming Interfaces] semua. Karena kadang ada company yang cara mencatatnya pake koma, ada yang pake titik. Ini bisa enggak terkoneski kalau enggak sesuai,” ujar Robby kepada Theiconomics.com, Senin (9/10).

Robby mengatakan secara prinsip, kehadiran bursa, kliring dan kustodian dalam perdagangan kripto di Indoensia bertujuan untuk menjamin keamanan aset nasabah atau untuk meningkatkan aspek perlindungan konsumen (customer protection).

Namun, Robby – yang juga merupakan Chief Operating Officer (COO) Reku –  mengatakan penyimpanan aset oleh lebaga kustodian atau depository bisa menjadi malapetaka bagi industri kripto bila lembaga ini diberi kewenangan untuk menguasai seluruh aset kripto yang ada di pedagang fisik aset kripto atau exchanger.

Ia mengatakan jika keseluruhan aset kripto ditempatkan di kustodian atau depository, maka yang terjadi adalah centralised risk atau pemusatan risiko pada satu lembaga.

“Jadi, risikonya akan tertumpuk  di dalam satu lembaga. Itulah yang menjadi concern kita agar keamanan dana nasabah itu tidak jadi centralised risk,”ujarnya.

Ia mengatakan “external fraud itu mungkin masih bisa dicegah”, tetapi, bagaiaman kalau fraud itu justru datang dari dalam lembaga penyimpanan itu sendiri?

“Misalnya memalsukan kematian dan lain-lain. Maka secara keseluruhan perdagangan fisik aset kripto di Indonesia akan lumpuh,” ujarnya.

Lantas bagaimana aturan main soal kewenagan lembaga penyimpanan aset (depository) atau kustodian ini? Robby mengatakan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) selaku reglator saat ini hanya mengatur hal-hal prinsip (principal base) yaitu menjamin adanya perlidungan nasabah/konsumen (customer protection). Namun, bagaiamana perlindungan nasabah atau konsumen itu dlakukan (rule base) diatur oleh Self Regulatory Organization (SRO) yaitu bursa, kliring dan lembaga penyimpanan aset (depository) atau kustodian.

Menurutnya, bila rule base untuk penyimpanan aset yang dibuat oleh SRO terlalu mengarah ke centralised risk, maka harus ada jaminan atau asuransi atas aset-aset tersebut sebagai antisipasi risiko yang akan terjadi.

Masalahnya, untuk asuransi yang memberikan jaminan 1:1, tambah Robby, sejauh ini belum ada di Indonesia, hanya ada di luar negeri. Itu pun preminya mahal yaitu 1% dari nilai aset yang ditempatkan.

“Sudah pasti mahal sekali sehingga tidak akan kompetitif untuk industri aset kripto di Indonesia. Industrinya juga pasti akan mati,” ujarnya.

Karena itu, Robby mengusulkan agar penyimpanan aset kripto tetap dilakukan oleh pedagang fisik aset kripto atau exchanger seperti yang berjalan adanya saat ini.

“Namun, setiap menggerakan aset itu butuh yang namanya pengawasan dari kustodian. Misalnya, salah satu multi-key, kita berikan kepada kustodian, sehingga ketika pedagang itu melakukan pengiriman, maka butuh approval dari kustodian,” ujarnya.

“Jadi, dia [kustodian] bisa mengawasi terus, benar enggak ini barang  mau dikirim keluar? Kenapa tiba-tiba harus kirim keluar [dalam jumlah] besar? Atas dasar apa ini mau dikirim keluar? Apakah atas instruksi dari penggunanya? Atau  ini pedagangnya akan mau melakukan sebuah tindakan kecurangan? Nah, metode pengawasannya yang harus ditingkatkan, bukan dengan menguasai aset dari semua pedagang. Karena dengan menguasai semua aset yang ada di pedagang ini, jadi centralised risk lagi,” tambah Robby.

By Theiconomics
Penulis: Petrus Dabu

Berita lainnya baca disini