Warta Ekonomi, Jakarta – Kepala Komisi Sekuritas dan Berjangka (SFC) Hong Kong, Julia Leung Fung-yee membahas penerapan peraturan Web3 Hong Kong setelah runtuhnya bursa kripto FTX pada November 2022, dan menyatakan bahwa perdagangan kripto adalah bagian penting dari ekosistem aset virtual.
Dilansir dari laman Cointelegraph pada Senin (26/6/2023), dalam pidatonya, Leung dikabarkan menjelaskan bahwa sistem perizinan baru untuk penyedia aset virtual akan memastikan bahwa investor terlindungi sembari mempertimbangkan risiko yang dihadapi lembaga keuangan.
Dalam pandangan Leung, memasukkan penyedia aset virtual ke dalam sistem regulasi adalah satu-satunya cara untuk merangkul inovasi dan memperkuat kepercayaan pasar setelah kebangkrutan FTX.
Hong Kong menggunakan keruntuhan FTX untuk mengurangi risiko peraturan terkait dengan bursa terpusat. Pada Desember 2022—kurang dari sebulan setelah krisis bursa terjadi—dewan legislatifnya memasukkan penyedia layanan aset virtual dalam undang-undang yang sama yang mengatur lembaga keuangan tradisional.
Aturan baru membawa pedoman Anti Pencucian Uang (AML) yang ketat dan undang-undang perlindungan investor ke bursa aset digital yang ingin membuka bisnis di Hong Kong. Ini juga memperkenalkan skema lisensi baru yang memungkinkan kemampuan investor ritel untuk memperdagangkan aset virtual.
Sampai saat ini, perdagangan aset digital dibatasi untuk investor profesional dan pedagang dengan setidaknya US$1 juta (Rp15 miliar) dalam bentuk aset bank.
Menurut Leung, sistem lisensi mata uang kripto Hong Kong adalah contoh bagus dari kebijakan “satu negara, dua sistem” di China. Mata uang kripto telah dilarang di China daratan sejak 2021, sementara Hong Kong mengambil pendekatan berbeda dengan mempromosikan lingkungan yang ramah bagi industri kripto.
Selama 12 bulan terakhir, lebih dari 150 perusahaan Web3 telah beroperasi di Cyberport Hong Kong — pusat digital yang dibuat pemerintah setempat untuk mempromosikan inovasi. Masuknya dana tersebut terjadi setelah pemerintah mengalokasikan 50 juta yuan (US$7 juta atau Rp105 miliar) untuk mempercepat pengembangan Web3.
By WartaEkonomi
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti