Jakarta, CNBC Indonesia – Volume transaksi perdagangan aset kripto telah menurun drastis 224% secara tahunan (yoy) menjadi Rp94,4 triliun pada kuartal III-2023. Angka ini juga melanjutkan tren penurunan dari tahun ke tahun.
Diketahui, pada 2021 volume transaksi perdagangan aset kripto mencapai Rp859,4 triliun. Kemudian turun sebanyak 63% menjadi Rp 306,4 triliun pada 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini menjelaskan tingginya pajak menjadi salah satu penyebab di balik penurunan volume transaksi aset.
Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan Aset keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) OJK Hasan Fawzi mengatakan, perpajakan pada transaksi kripto bersifat ‘sangat positif’.
“Karena ini menunjukkan legalitas yang confirmed terhadap instrumen dan aset kripto ini. Begitu juga seluruh kegiatannya. Nah, hanya saja tentu aspek enforcement-nya nih, yang harus kita pastikan artinya jangan sampai aset yang secara nature transaksinya dapat dilakukan lebih mudah untuk dilakukan di dalam negeri ataupun di luar negeri, kemudian menimbulkan arbitrase,” ujar Hasan saat ditemui di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Ia mengatakan, perpajakan kripto ini harus ditindaklanjuti dengan tegas oleh OJK untuk memastikan pemenuhannya.
“Kan ada pajak yang lebih ringan untuk transaksi di dalam negeri dibanding di luar negeri. Nah, itu tuh harus betul-betul terlaksana. Kalau tidak, yang terjadi tentu kita khawatirkan karena ada kemudahan yang ada tadi maka akan kemungkinan shifting transaksi yang tadinya dilakukan secara domestik kemudian bisa saja beralih ke transaksi luar,” pungkas Hasan.
Sebagai informasi, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 68/PMK.03/2022 mulai mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Peraturan itu mengatur jika transaksi dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, pembayaran pajaknya adalah 0,11% dari nilai transaksi. Jika transaksi kemudian dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, maka pembayaran pajaknya adalah 0,22%.
Sedangkan penjual atau yang menyerahkan aset kripto dikenakan pajak PPh dengan dua syarat. Jika perdagangan dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, tarif pajak adalah 0,1% dari nilai perdagangan. Namun, jika penjualan dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, PPh 0,2% dari nilai perdagangan.
Pada dasarnya pajak kripto ini menjadi sumber pemasukan bagi negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mencatatkan penerimaan pajak kripto hingga Rp246,45 miliar per Desember 2022.
By CNBC Indonesia
Penulis: Zefanya Aprilia
Berita lainnya baca disini